Kenapa Sukses yang 'Normal' Mungkin Bukan yang Kamu Cari?

Rahajeng Lintang Safitri
7 Jan 2025
11 read

Buat banyak orang, sukses sering dikaitin sama punya duit banyak, barang branded, atau hal-hal yang keliatan “wah”. Apalagi kalau buka media sosial, semua orang berlomba-lomba nunjukin seberapa berhasil mereka.

Baru makan di restoran fancy? Langsung upload. Liburan ke luar negeri? Story harus lengkap, tag lokasinya. Pokoknya, hidup harus keliatan "perfect."

Masalahnya, nggak sedikit yang akhirnya kejebak dengan definisi sukses ini. Kenapa?

Karena kita terlalu fokus ngeliat standar sukses yang dipamerin orang lain. Akhirnya, kita merasa harus ngejar semua itu, padahal mungkin itu bukan yang kita inginkan.

Hidup dengan ngejar definisi sukses orang lain itu capek banget. Bayangin, tiap hari kamu terus-terusan merasa harus keep up sama orang lain.

Baru beli gadget baru, eh, ada yang lebih keren. Baru liburan ke Bali, temanmu langsung upload foto di Maldives. Siklus ini nggak ada habisnya.

Studi dari American Psychological Association (APA) menunjukkan bahwa sekitar 68% pengguna media sosial merasa tekanan untuk menampilkan versi terbaik dari diri mereka, meskipun itu nggak sepenuhnya mencerminkan kenyataan hidup mereka. Ini bisa bikin kita merasa nggak puas, karena terlalu fokus pada standar hidup orang lain.

Loh, emangnya nggak boleh ya kalau kita pengen hidup lebih baik atau punya barang keren?

Boleh kok, tapi yang perlu digarisbawahi adalah alasan di balik keinginan itu.

Apakah kita benar-benar ingin hidup lebih baik atau punya barang keren karena itu penting buat kita? Atau kita cuma pengen keliatan keren di mata orang lain?

Terus, gimana kita bisa tahu "definisi" sukses yang cocok buat diri kita? Simak terus ya!

Sosial Media dan “Ilusi” Kesuksesan

Sebelum bahas definisi “sukses” yang cocok buat kita, penting untuk menyadari betapa besar pengaruh media sosial dalam membentuk persepsi kita tentang apa itu kesuksesan.

Di media sosial, kita sering banget liat gambaran hidup yang keliatannya “perfect” banget—dari liburan ke tempat mewah, makan di restoran fancy, sampe kehidupan sosial yang selalu rame dan penuh kebahagiaan.

Padahal, di balik semua itu, sering kali yang kita liat cuma ilusi yang nggak nyampe sepenuhnya ke kenyataan.

Sebuah studi yang diterbitkan oleh The Journal of Social and Clinical Psychology nemuin kalau penggunaan media sosial yang berlebihan dapat berkontribusi pada depresi dan perasaan terisolasi, terutama karena perbandingan sosial yang terjadi saat kita melihat kehidupan orang lain yang tampaknya lebih sempurna.

Setiap hari, kita terus-terusan terpapar sama kehidupan orang lain yang kelihatan sempurna banget. Tapi yang sering kita lupa, itu semua cuma sebagian kecil dari kehidupan mereka, yang sengaja dipilih dan diedit supaya keliatan oke banget.

Contohnya nih, kita kemungkinan bakal upload ke IG Story pas kita lagi makan di restoran yang menurut kita “fancy”. Jarang kan, kita upload pas lagi makan di warteg waktu istirahat kerja.

Kita sering banget ngebandingin diri kita sama “versi terbaik” orang lain ini tanpa ngeh kalau itu nggak sepenuhnya menggambarkan kenyataan. Media sosial tuh jarang nunjukin tantangan atau kegagalan yang mereka alami.

Yang ditonjolkan itu ya momen-momen yang mereka anggap paling oke doang. Jadi, wajar banget kalo kita ngerasa hidup orang lain jauh lebih baik dan lebih sukses daripada kita, padahal kita nggak tau cerita lengkapnya.

Kesuksesan: Antara Keinginan dan Tekanan Keluarga

Tekanan keluarga seringkali jadi faktor yang nentuin gimana kita ngedefinisiin kesuksesan.

Misalnya, orang tua atau keluarga tuh sering banget punya ekspektasi tertentu soal apa yang harus dianggap "sukses" dalam hidup anak-anaknya.

Biasanya sih, ini berwujud dalam tekanan untuk ambil jurusan kuliah tertentu, dapetin gaji yang gede, atau ngikutin jejak orang lain yang udah dianggap sukses banget.

Kadang kita ngerasa harus memenuhi ekspektasi ini, padahal itu bisa jadi nggak sesuai banget sama passion atau minat kita sendiri.

Orang tua emang punya pengaruh besar banget dalam ngebentuk pandangan anak-anak mereka tentang sukses.

Misalnya, orang tua yang tumbuh di keluarga dengan latar belakang ekonomi yang nggak begitu baik pasti bakal ngerasa kalau stabilitas finansial itu penting banget sebagai tolok ukur kesuksesan.

Mereka pengen anak-anak mereka punya hidup yang lebih baik dari yang mereka rasain, makanya ekspektasi mereka soal karier dan status sosial bisa jadi tinggi banget.

Tapi, masalahnya, kadang anak-anak ngerasa kalau hidup mereka cuma buat nyenengin orang tua, padahal mereka sendiri nggak mau jalani itu.

Contohnya, ada anak yang sebenernya lebih suka banget sama seni atau dunia kreatif, tapi karena tekanan dari orang tua, mereka malah harus ambil jurusan kuliah yang lebih "aman" atau yang dianggap lebih "prestisius", meskipun itu nggak sesuai sama minat mereka.

Menurut penelitian dari Pew Research Center (2019), hampir sepertiga dari generasi muda ngerasa kesulitan buat memenuhi ekspektasi orang tua soal karier dan pencapaian.

Nah, kalau harapan-harapan ini bentrok sama keinginan pribadi, akhirnya muncul deh perasaan stres dan ketidakpuasan.

Norma Sosial dan Pengaruhnya Terhadap Pandangan Sukses

Norma sosial tuh sebenernya aturan atau standar yang diharapkan buat diikutin sama orang-orang dalam suatu kelompok atau komunitas.

Aturan ini terbentuk dari kebiasaan, nilai, dan keyakinan yang berkembang dari waktu ke waktu, dan tentunya beda-beda di setiap budaya.

Norma sosial punya pengaruh gede banget dalam berbagai aspek kehidupan kita, termasuk cara kita ngeliat definisi kesuksesan.

Pandangan orang tentang sukses sering banget dipengaruhi sama norma sosial yang ada di sekitar mereka. Di banyak budaya, sukses sering dilihat dari pencapaian materi, kayak punya rumah gede, mobil mewah, atau posisi tinggi di kerjaan.

Norma sosial yang ada di masyarakat ngajarin kita kalau sukses itu yang kelihatan dari luar, yang bikin orang lain takjub.

Akhirnya, kita merasa tertekan buat nyampein tujuan-tujuan itu, padahal itu belum tentu sesuai sama keinginan atau minat kita sendiri.

Ya, sebenernya gak salah juga sih. Di kehidupan sekarang, materi atau uang itu emang penting banget. Gak ada yang gratis!

Di sini, sukses nggak cuma dilihat dari apa yang kita punya, tapi juga dari kebahagiaan, keseimbangan hidup, dan rasa puas dengan pencapaian pribadi.

Norma sosial yang lebih fokus ke nilai-nilai kayak empati, solidaritas, dan kebahagiaan batin bisa bikin pandangan tentang sukses jadi lebih beragam, nggak cuma fokus sama pencapaian duniawi aja.

Tapi, penting buat diingat kalau norma sosial nggak selalu maksa kita buat ngikutin pandangan sempit tentang sukses.

Kadang-kadang, norma sosial malah ngebantu kita buat ngejar impian yang bener-bener kita inginkan, tanpa terlalu banyak tekanan dari luar.

Misalnya, di tengah-tengah tren buat bisnis atau kerja di perusahaan Big4, banyak orang mulai ngeliat sukses sebagai pencapaian dalam bidang yang mereka cintai, bukan cuma yang dianggap penting sama masyarakat luas.

Tapi, kalau norma sosial yang berlaku terlalu kaku dan materialistik, itu bisa jadi masalah juga. Tekanan buat ngejar standar yang nggak realistis bisa bikin kita stres, cemas, atau bahkan ngerasa nggak puas sama hidup yang kita jalani.

Secara keseluruhan, norma sosial itu punya peran gede banget dalam ngebentuk pandangan sukses di masyarakat.

Tapi, setiap orang juga perlu sadar banget sama pengaruh norma ini dan berani buat mendefinisikan sukses sesuai dengan nilai-nilai pribadi mereka.

Mengikuti Jejak Orang Lain: Jalan Menuju Kesuksesan atau Kehilangan Identitas


Karena ada tekanan sosial yang udah dibahas tadi. Kita jadi cenderung buat ngikutin jejak orang lain buat sukses.

Hal bisa bikin kita terjebak dalam kehidupan yang sebenarnya nggak mencerminkan siapa diri kita.

Misalnya, lihat temen atau influencer yang sukses jadi pengusaha, punya banyak followers, atau gaya hidup mewah, kita jadi ngerasa harus mengikuti mereka, padahal itu mungkin bukan hal yang kita inginkan.

Banyak orang yang terpaksa memilih jalur yang bukan passion mereka, hanya karena tekanan sosial atau ekspektasi orang lain.

Socrates pernah bilang, "An unexamined life is not worth living." Ini artinya, hidup yang nggak dipikirin dan dicek lagi, yang cuma ngikutin arus tanpa refleksi, nggak bakal ngasih kepuasan sejati. Dalem banget kan?

Kalau kita terus ngejar apa yang orang lain anggap sukses, tapi nggak sesuai sama diri kita, akhirnya kita cuma capek dan ngerasa kosong.

Masalahnya, kalau kita terus mengejar hal yang nggak cocok sama diri kita, kita bisa kehilangan arah. Itu kenapa sering banget orang merasa capek, cemas, atau stres meskipun kelihatan sukses di luar.

Menurut teori Self-Determination (SDT) menjelaskan, kalau kita nggak merasa terhubung dengan apa yang kita kerjain, rasa puas batin itu nggak bakal datang.

Kita hanya kejar-kejaran dengan standar orang lain tanpa merasa fulfilled.

Lebih jauh lagi, hidup yang dipenuhi ekspektasi orang lain bisa bikin kita terasing dari diri sendiri. Hal ini berdampak banget ke kesehatan mental kita.

Penelitian menunjukkan bahwa orang yang terjebak dalam mengejar tujuan-tujuan eksternal ini cenderung merasa tertekan dan tidak puas karena mereka tidak pernah benar-benar mengejar apa yang sesuai dengan nilai-nilai atau passion pribadi mereka. Mereka capek, dan akhirnya nggak merasa bahagia meskipun kelihatan sukses.

Intinya, kesuksesan yang sesungguhnya adalah saat kita bisa ngejalanin hidup sesuai sama apa yang kita mau, bukan karena harus memenuhi ekspektasi orang lain.

Kalau kita bisa paham dan dengerin apa yang bener-bener kita inginkan, hidup jadi lebih memuaskan.

Membandingkan Kesuksesan: Motivasi atau Bunuh Diri?

Kita semua pasti pernah membandingkan diri sama orang lain, apalagi di era media sosial.

Lihat temen beli mobil baru, karier lancar, atau liburan ke luar negeri, rasanya kok hidup kita biasa aja, ya?

Penting banget buat kita sadar bahwa membandingkan kesuksesan itu pedang bermata dua—bisa jadi motivasi, tapi juga bisa jadi "bunuh diri" mental kalau nggak diatur dengan bijak.

Membandingkan diri sama orang lain kadang bisa jadi pemicu semangat. Misalnya, lihat temen sukses bikin bisnis sendiri bikin kita termotivasi untuk lebih serius ngerjain passion kita.

Dalam psikologi, ini disebut sebagai upward comparison—melihat ke atas untuk belajar dari keberhasilan orang lain. Kalau kita bisa ambil hikmahnya dan pakai sebagai inspirasi, efeknya bisa positif banget.

Namun, jika kita terus-menerus membandingkan diri, terutama dengan standar yang tidak relevan bagi tujuan hidup kita, ini hanya akan menambah tekanan. Mengejar kesuksesan yang didasarkan pada standar orang lain bisa menyebabkan kelelahan emosional.

Misalnya, seseorang yang merasa harus sukses dalam bisnis karena tekanan teman atau keluarga mungkin tidak menyadari bahwa jalur itu tidak selaras dengan minat atau bakat mereka. Akhirnya, mereka merasa hampa meskipun tampak "sukses" di mata orang lain.

Perbandingan yang toksik bisa bikin kita lupa apa yang sebenarnya penting buat diri kita. Kita jadi lebih sibuk ngejar apa yang “benar” di mata orang lain daripada tujuan hidup kita sendiri. Pada akhirnya, ini malah bikin kita burn out atau kehilangan arah.

Kebahagiaan Sejati: Sukses Materi Solusinya?

Kehidupan yang terlihat sukses sering kali tidak sebanding dengan kebahagiaan sejati. Banyak orang yang telah mencapai status sosial tinggi, kekayaan, atau popularitas justru merasa kosong dan tidak puas dengan hidup mereka.

Ini terjadi karena mereka sering mengejar tujuan-tujuan eksternal yang tidak selaras dengan nilai-nilai atau passion pribadi mereka.

Studi menunjukkan bahwa meskipun memiliki segalanya—seperti uang, rumah mewah, atau karier yang gemilang—perasaan cemas dan kesepian tetap menghantui banyak individu.

Emang kebahagiaan sejati tuh apa sih?

Kebahagiaan sejati tuh lebih dari sekadar seneng-seneng sementara, ya. Ini lebih ke kondisi emosional yang dalem dan stabil, di mana kita beneran ngerasa puas sama hidup.

Jadi bukan cuma karena punya barang baru atau pergi liburan fancy, tapi karena kita punya tujuan hidup yang jelas dan semuanya align sama nilai-nilai yang dipegang.

Menurut teori Self-Determination Theory, kebahagiaan sejati muncul ketika tiga kebutuhan psikologis dasar terpenuhi:

  1. Autonomy – Kebebasan untuk membuat pilihan hidup sesuai dengan keinginan dan nilai-nilai pribadi.
  2. Competence – Merasa mampu dan efektif dalam melakukan sesuatu yang penting.
  3. Relatedness – Terhubung secara mendalam dengan orang lain dan merasa diterima.

Kebahagiaan sejati tidak hanya tentang pencapaian atau kekayaan materi, tetapi tentang memiliki koneksi yang kuat dan dukungan emosional​

Kebahagiaan sejati, kalau ngomongin versi eudaimonia-nya Aristoteles, itu kayak kita hidup dengan purpose yang jelas, ngejar hal-hal yang bener-bener punya makna, dan nyumbang sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri.

Beda banget sama hedonia, yang cuma soal cari happy moment sementara, kayak nikmatin makanan enak atau ngerasa puas pas beli barang baru.

Eudaimonia itu lebih deep. Contohnya? Kayak kita bangga sama impact yang kita kasih ke lingkungan sekitar. Itu bukan cuma soal dapet hasil instan, tapi soal tumbuh, belajar, dan ngasih efek positif buat orang lain.

Makanya, kuncinya ada di gimana kita buat semuanya balance. Kita tetep bisa capai goal pribadi, punya hubungan yang meaningful, tapi tetep jalanin hidup yang align sama value diri.

Jadi bukan cuma tentang apa yang keliatan keren, tapi tentang apa yang bikin kita bener-bener puas sama hidup. Ditambah dengan dampak positif yang kita ciptain di sekitar.

Solusi

Dalam perjalanan hidup, sukses sering kali diasosiasikan dengan pencapaian yang terlihat di mata orang lain: karier cemerlang, kekayaan materi, atau pengakuan sosial.

Namun, apakah ini benar-benar mencerminkan apa yang kita inginkan?

Cara-cara dibawah ini bisa kita terapin kedepannya.

Kenali Siapa Diri Kita

Jujur aja deh, kita kadang terlalu sibuk ngejar apa yang dunia bilang sukses sampai lupa nanya diri sendiri: apa sih yang bener-bener bikin kita bahagia? Apakah itu waktu buat keluarga? Punya kerjaan yang nggak bikin stres? Atau malah sesimpel bisa ngelakuin hobi tiap minggu?

Teori self-determination bilang, kita tuh baru bisa bahagia kalau kebutuhan dasar kayak otonomi (nggak diatur-atur banget), kompetensi, dan relasi terpenuhi.

Jadi, coba refleksi, deh. Tulis pertanyaan simpel kayak:

“Apa hal yang bikin gue seneng, bahkan kalau nggak ada orang yang tahu?” atau “Apa yang bikin gue merasa hidup lebih berarti?”

Jawaban dari pertanyaan ini bisa jadi peta awal buat ngertiin siapa diri kita sebenarnya. Ketika kita kenal siapa diri kita, kita jadi lebih tahu tujuan hidup mana yang bener-bener penting.

Kalau kebahagiaan datang dari waktu bersama keluarga, fokus ke sana. Kalau kamu lebih merasa hidup ketika berkarya di bidang seni, kejar itu.

Hidup selaras dengan nilai dan keinginan diri sendiri jauh lebih meaningful daripada ngejar validasi dari dunia luar.

Ingat, kebahagiaan sejati nggak butuh panggung—yang penting, kamu puas dengan cerita yang kamu tulis sendiri.

Bedain Mana Ekspektasi Orang dan Mana Keinginan Kita

Ini tricky, sih. Kadang ekspektasi dari keluarga atau temen tuh berat banget, bikin kita ngerasa harus ikutan.

Contohnya, “Wah, si A udah jadi manager, gue kapan?”

Padahal, belum tentu jadi manager adalah goals kita. Jangan biarin standard orang jadi beban. Fokus ke apa yang kita mau—bukan apa yang dunia suruh kita kejar.

Tanya ke diri sendiri, "Kenapa aku mau ini? Karena aku benar-benar mau, atau karena orang lain bilang aku harus?"

Luangkan waktu untuk benar-benar memahami apa yang bikin kamu bahagia. Tujuan hidup setiap orang berbeda, dan nggak ada satu jalan sukses yang cocok buat semua orang.

Cari Tujuan yang Berarti Buat Kita

Sukses itu nggak harus gede-gedean atau bikin headline di Instagram. Kalau buat kita sukses itu bisa tidur nyenyak tanpa overthinking tiap malem, ya itu aja cukup.

Kalau kita ngejar tujuan yang cuma buat impress orang lain, kita cenderung lebih cepat merasa lelah dan kosong.

Tujuan yang bermakna bikin kita lebih termotivasi karena kita tahu itu benar-benar untuk kebahagiaan diri kita sendiri.

Ketika tujuan hidup kita terhubung dengan nilai-nilai inti kita, kita merasa lebih damai dan puas.

Misalnya, membantu orang lain atau membangun hubungan yang mendalam cenderung memberikan kebahagiaan yang lebih lama dibandingkan sekadar membeli barang mewah.

Ketika kita berhenti mengejar validasi orang lain, kita jadi lebih berani untuk menjalani hidup sesuai cara kita. Hidup kita jadi lebih otentik dan bebas dari tekanan sosial.

Jadi, nggak usah maksa bikin semua orang terkesan, cukup pastiin hidup kita meaningful buat diri sendiri.

Jangan Takut Putar Balik

Kita nggak harus stuck di satu jalur selamanya. Hidup itu kan dinamis. Kalau jalur yang sekarang udah nggak relevan atau malah bikin kita stres, ya nggak apa-apa coba jalur lain.

Nggak ada yang bilang sukses itu harus lurus-lurus aja. Bahkan zigzag pun bisa bawa kita ke tujuan.

Dalam budaya kita, sering banget ada anggapan kalau sukses itu harus linear: sekolah bagus → kuliah top → kerja di perusahaan keren → nikah, punya rumah, dan seterusnya.

Ini disebut "career adaptability"—kemampuan untuk beradaptasi dan berubah arah sesuai kebutuhan dan perubahan lingkungan.

Orang yang fleksibel secara mental lebih mudah menghadapi tantangan hidup dan cenderung lebih bahagia karena mereka nggak takut mengubah jalur demi kepuasan pribadi.

Kenapa Putar Balik Itu Normal?

Kebutuhan dan Minat Berubah: Apa yang kita suka di usia 20-an belum tentu masih relevan di usia 30-an. Seiring waktu, kita tumbuh, belajar, dan menemukan hal-hal baru tentang diri kita.

Hidup Itu Dinamis: Dunia berubah cepat. Kadang, kita harus berubah juga buat tetap relevan dan merasa puas.

Stres dan Ketidakpuasan: Kalau jalur yang kita tempuh bikin kita burn out atau nggak bahagia, itu sinyal untuk evaluasi ulang. Terus maju tanpa refleksi malah bisa bikin kita lebih jauh dari kebahagiaan.

Coba tanya diri sendiri, “Apakah jalur ini masih relevan sama tujuan dan nilai hidupku?”

Kalau jawabannya nggak, mungkin saatnya putar balik. Tapi, jangan asal lompat ke jalur lain. Ambil waktu buat bikin rencana yang lebih sesuai sama minat dan kemampuan kita.

Nikmati Prosesnya

Kadang kita terlalu fokus ke hasil, sampe lupa nikmatin perjalanannya.

Ya wajar sih kalau ada gagal di tengah jalan—namanya juga hidup. Tapi, dari gagal itu kita belajar dan makin deket ke versi sukses yang gue banget.

Kegagalan sering banget bikin kita down, tapi sebenarnya itu momen penting untuk belajar. Setiap kali kita gagal, kita dapet pelajaran baru yang bikin kita lebih bijak dan lebih siap untuk tantangan selanjutnya.

Ada pepatah yang bilang, "Success is not built on success, but on failures and learning." Kalau kita bisa lihat kegagalan bukan sebagai akhir dari segalanya, tapi sebagai langkah untuk tumbuh, kita justru jadi lebih kuat dan lebih dekat sama tujuan.

Kuncinya adalah mengganti mindset dari "hasil akhir" ke "perkembangan." Filosofi growth mindset yang dicetuskan oleh Carol Dweck menekankan bahwa proses belajar dan usaha jauh lebih penting daripada hasilnya.

Dengan fokus pada apa yang kita pelajari di setiap langkah, kita nggak cuma lebih menikmati perjalanan, tapi juga lebih bahagia karena kita tahu setiap langkah itu berarti.

Hidup bukan cuma soal sampai di tujuan, tapi soal menikmati setiap langkah perjalanan. Daripada stres mikirin kapan sukses, mending kita fokus menikmati proses dan belajar dari setiap momen.

Dengan begitu, kita nggak cuma jadi lebih bahagia, tapi juga lebih menghargai diri sendiri di sepanjang perjalanan.